Kekerasan Perempuan di Tempat Kerja: Tantangan dan Upaya Menuju Lingkungan Kerja yang Aman dan Setara

  • Rabu, 30 April 2025 - 14:24:11 WIB
  • Administrator

Oleh: Aghnis Fauziah, S.Psi., M.Psi., Psikolog

Kekerasan terhadap perempuan di tempat kerja merupakan fenomena sosial yang kompleks dan multidimensional, yang hingga hari ini masih menjadi masalah serius di berbagai sektor pekerjaan, baik formal maupun informal. Dalam masyarakat patriarkal, tempat kerja sering kali mencerminkan ketimpangan kekuasaan yang nyata antara laki-laki dan perempuan. Hal ini menciptakan kondisi yang rentan terhadap kekerasan berbasis gender. Kekerasan di tempat kerja tidak hanya menyangkut tindakan fisik, tetapi juga mencakup pelecehan seksual, kekerasan verbal, diskriminasi, intimidasi, hingga pengabaian hak-hak reproduksi perempuan.

 

Bentuk Kekerasan terhadap Perempuan di Tempat Kerja

Kekerasan yang dialami perempuan di tempat kerja memiliki banyak wajah. Salah satu bentuk yang paling sering terjadi adalah pelecehan seksual, baik dalam bentuk ucapan yang tidak pantas, sentuhan yang tidak diinginkan, maupun perilaku merendahkan yang dilakukan secara verbal atau nonverbal. Sering kali, pelaku adalah atasan atau rekan kerja laki-laki yang memanfaatkan relasi kuasa untuk mendominasi perempuan. Kondisi ini diperparah oleh budaya diam yang terbentuk karena korban takut diberhentikan, tidak dipercaya, atau disalahkan.

Selain itu, diskriminasi gender masih menjadi bagian dari kekerasan struktural yang membatasi ruang gerak perempuan dalam dunia kerja. Banyak perempuan mendapatkan gaji yang lebih rendah daripada laki-laki meskipun memiliki kualifikasi dan beban kerja yang setara. Kesempatan untuk naik jabatan atau menduduki posisi kepemimpinan pun masih dibatasi oleh stereotip gender yang menyudutkan perempuan sebagai makhluk emosional, tidak rasional, atau terlalu terbebani urusan rumah tangga.

Perempuan juga kerap mengalami kekerasan psikologis seperti intimidasi, pengucilan, hingga tekanan mental yang disebabkan oleh lingkungan kerja yang toxic seperti bullying. Perilaku semacam ini berdampak langsung pada kesehatan mental perempuan, menyebabkan stres, gangguan kecemasan, dan bahkan depresi. Dalam kasus yang lebih ekstrem, korban bisa mengalami trauma jangka panjang yang memengaruhi kehidupan profesional dan pribadi mereka.

Di sektor informal, perempuan juga rentan mengalami eksploitasi. Pekerja rumah tangga perempuan, buruh migran, atau buruh pabrik perempuan sering kali bekerja dalam kondisi yang tidak layak, dengan jam kerja panjang, gaji minim, dan tanpa perlindungan hukum yang memadai. Mereka kerap menjadi korban kekerasan verbal, fisik, dan seksual dari pemberi kerja atau atasan, dengan peluang nyaris nol untuk mendapatkan keadilan karena posisi mereka yang rentan secara ekonomi dan sosial.

 

Akar Permasalahan

Kekerasan terhadap perempuan di tempat kerja tidak terjadi dalam ruang hampa. Ia adalah produk dari berbagai faktor struktural, budaya, dan hukum. Ketimpangan kekuasaan antara laki-laki dan perempuan memainkan peran utama. Banyak perusahaan masih dikelola dengan sistem hierarkis yang maskulin, di mana laki-laki memegang posisi dominan dalam pengambilan keputusan dan perempuan berada dalam posisi subordinat.

Budaya patriarki juga turut mempertahankan norma sosial yang membenarkan dominasi laki-laki dan meremehkan nilai kerja perempuan. Di banyak tempat kerja, candaan seksis atau komentar merendahkan terhadap perempuan dianggap hal yang lumrah. Hal ini menciptakan lingkungan yang tidak aman dan mendorong perempuan untuk menyesuaikan diri secara paksa demi tetap bisa bertahan dalam pekerjaannya.

Kurangnya kebijakan internal dan mekanisme pengawasan yang kuat di tempat kerja semakin memperburuk situasi. Banyak perusahaan tidak memiliki sistem pelaporan kekerasan yang transparan dan berpihak pada korban. Bahkan jika sistem itu ada, sering kali korban enggan melapor karena takut terhadap stigma sosial atau tidak percaya bahwa pelaku akan benar-benar diberi sanksi.

 

Dampak Kekerasan terhadap Perempuan dan Lingkungan Kerja

Kekerasan terhadap perempuan di tempat kerja membawa dampak serius, tidak hanya terhadap individu korban tetapi juga terhadap produktivitas perusahaan dan stabilitas sosial secara umum. Bagi perempuan, pengalaman kekerasan bisa menghancurkan kepercayaan diri, menciptakan rasa takut, cemas, dan memicu gangguan psikologis berkepanjangan. Banyak perempuan yang memilih mengundurkan diri atau berpindah kerja demi menghindari lingkungan yang tidak aman.

Secara institusional, kekerasan di tempat kerja dapat menurunkan moral karyawan, memperburuk iklim kerja, serta merusak reputasi perusahaan. Perusahaan yang tidak menangani kasus kekerasan dengan serius berisiko kehilangan karyawan yang kompeten, serta menghadapi tekanan publik dan hukum. Dalam skala yang lebih luas, kekerasan ini menciptakan ketidaksetaraan sistemik yang menghambat partisipasi perempuan secara penuh dalam pembangunan ekonomi dan sosial.

 

Upaya Pencegahan dan Perlindungan

Mengatasi kekerasan terhadap perempuan di tempat kerja memerlukan pendekatan yang menyeluruh, melibatkan berbagai pemangku kepentingan seperti pemerintah, sektor swasta, serikat pekerja, dan organisasi masyarakat sipil. Beberapa langkah strategis yang perlu dilakukan antara lain:

  1. Reformasi kebijakan perusahaan dengan menyusun dan menegakkan aturan yang melindungi perempuan dari segala bentuk kekerasan. Perusahaan perlu membentuk unit khusus penanganan kekerasan berbasis gender dan menyediakan jalur pelaporan yang aman, rahasia, dan berpihak pada korban.
  2. Pendidikan dan pelatihan bagi seluruh karyawan dan manajemen tentang kesetaraan gender, anti-kekerasan, dan etika profesional. Kesadaran kolektif sangat penting untuk mengubah budaya kerja yang patriarkal.
  3. Dukungan hukum dan perlindungan korban, termasuk bantuan hukum gratis, konseling psikologis, dan jaminan bahwa pelaporan tidak akan berujung pada pemecatan atau pembalasan. Perusahaan dapat bekerja sama dengan UPTD PPA setempat untuk dapat memberikan pendampingan terhadap korban.
  4. Peran pemerintah dalam mengawasi dan memberi sanksi kepada perusahaan yang gagal melindungi hak-hak pekerja perempuan. Penguatan regulasi seperti ratifikasi Konvensi ILO No. 190 tentang kekerasan dan pelecehan di dunia kerja juga merupakan langkah penting.

 

Penutup

Kekerasan terhadap perempuan di tempat kerja adalah cerminan dari ketidaksetaraan gender yang masih mengakar dalam sistem sosial kita. Mewujudkan tempat kerja yang bebas dari kekerasan bukan hanya soal keadilan bagi perempuan, tetapi juga tentang menciptakan lingkungan kerja yang sehat, produktif, dan berkelanjutan bagi semua pihak. Perubahan tidak akan terjadi dengan sendirinya; ia menuntut keberanian untuk mengakui masalah, komitmen untuk bertindak, dan solidaritas untuk mengubah sistem yang selama ini membungkam suara perempuan.